Ikanpemangsa (predator) ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubaban tingkat kadar garam lingkungan (eurihalin). Namun, ikan ini dapat pula tumbuh dan hidup di perairan tawar. Oleh karena itu, ikan kakap putih dapat dipelihara, baik di lingkungan air laut, payau maupun tawar. Suhu optimum bagi pertumbuhannya berkisar 27-30 derjat
Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd Hỗ Trợ Nợ Xấu. Terdengar aneh kan,, ikan air asin kok dipelihara di air tawar, ya namanya ikan kakap putih kok bisa,,??? ikan kakap putih adalah jenis ikan yang sangat toleran dengan salinitas atau bahasa kerennya EURYHALINE maksudnya adalah ketika lingkungan hidupnya atau habitat alamnya terjadi perubahan salinitas dari tinggi ke rendah atau sebaliknya, ikan tersebut akan lebih tahan dan cendrung terbiasa, biasanya jenis ikan yang sangat toleran dengan perubahan salinitas adalah ikan yang biasa hidup dimuara salah satunya adalah kakap putih, penasaran kan,,? ini hasil dari penelitian saya sendiri lokasi penelitian di wilayah Kalimantan Barat yang notabene wilayahnya terdapat banyak muara sungai. dan diwilayah tersebut banyak sekali ikan kakap putih yang dari alam atau bukan yang dibudidayakan, itu salah satu indikator bahwa di wilayah tersebut sangat cocok untuk budidaya ikan kakap putih. baiklah mari kita bahas satu persatu. PERSIAPAN LAHAN Sesuai judul dari artikel yang saya tulis kali ini adalah pemeliharaan ikan kakap putih di air tawar, maka kita perlu mepersiapkan lahan adapun lahan yang pertama kali kita siapkan adalah lahan untuk pendederan atau penggelondongan, karena bibit yang akan saya bahas disini adalah bibit hasil penetasan dari hatchery air asin yang berukuran 0,8-1 cm, kolam pendederan atau penggelondongan idealnya berukuran 5 x 10 m2 dengan tingkat kepadatan tebar 120ekor/m2 kedalaman 40cm dan airnya harus tawar lo ya jangan asin, jangan lupa sebelum bibit dimasukan kedalam kolam pendederan terlebih dahulu siapkan pakan alaminya dengan melakukan pemupukan pada kolam pendederan tersebut min 7 hari sebelum bibit dimasukan. Persiapan lahan yang kedua adalah kolam pembesaran baik berupa kolam beton, kolam tanah, atau keramba jaring tancap, amupun keramba jaring apung, dengan tingkat kepadatan 4 ekor/m2 untuk kolam tanah semi intensif 6ekor/m2 untuk intensif dan 3ekor/m2 untuk kolam tanah tradisional, saya sarankan untuk melakukan budidaya di kolam tanah atau keramba jaring apung atau jaring tancap untuk menekan biaya produksi, kalau pelihara dikolam beton tentu akan memakan biaya yang sangat lumayan, luas lahan untuk pemeliharaan idealnya adalah 10 x 60 m2 untuk kolam tanah, sedangkan untuk keramba jaring idealnya 5x8m2 dengan masing-masing kedalaman 100 s/d 150 cm, perlu diperhatikan bahwa semakin padat jumlah tebar semakin intensif pemeliharaan dalam artian perlu penanganan dan manajemen pengelolaan air dan pakan yang tepat supaya hasilnya maksimal. PERSIAPAN BIBIT Bibit yang berkualitas akan menentukan hasil panen kita, jadi dalam memilih bibit harus sangat selektif jangan sampai segala persiapan kita menjadi sia-sia gara-gara bibit yang kurang berkualitas, bibit yang saya maksud adalah hasil penetasan dari hatchery air asin, lalu bagaimana penanganan kita sementara kita akan membudidayakan di air tawar, perlu langkah penyesuaian terlebih dahulu atau proses aklimatisasi dari air asin ke air tawar, biasanya bibit yang datang dari hatchery kadar salinitasnya 28 s/d 30 ppt, bagai mana caranya supaya salinitasnya mendekati nol tapi bibit tetap hidup, pertama siapkan wadah atau akuarium berukuran 40x80cm isi dengan air asin, kita bisa menggunakan garam non yodium untuk menjadikan air tawar menjadi asin, tambahkan airator masukan bibit kedalam akuarium atau bak fiber dengan menambahkan sedikit demi sedikit air tawar, proses dilakukan selama 1x24jam sampai air yang diakuarium atau bak fiber menjadi tawar, lakukan proses tersebut dengan perlahan setelah berhasil lakukan pemindahan dengan segera ke kolam pendederan atau penggelondongan, lakukan dengan perlahan dan hati-hati. PROSES PENGGELONDONGAN pada proses ini biasanya kita hanya perlu memantau secara seksama hari demi hari kondisi bibit dengan mengamati pada siang dan malam hari, biasanya pada malam hari akan lebih mudah, pada hari ke 3 kita bisa menambahkan pelet yang halus untuk memberi pakan tambahan, proses penggelondongan memakan waktu 10 s/d 18 hari dengan asumsi pertumbuhan 7hari 1cm ingat lo ya karena ikan kakap putih jenis ikan yang kanibal pada ukuran 0,8 s/d maka harus dilakukan pengamatan yang cukup berkala, setelah 18 hari ukuran bibit berkisar di 3-4cm dan sudah siap untuk dipindahkan ke kolam pembesaran, lakukan sortir terlebih dahulu sebelum masuk kekolam pembesaran. PROSES PEMBESARAN DAN PEMBERIAN PAKAN Pembesaran dikeramba jaring apung atau tancap ukuran jaring bisa disesuaikan dengan ukuran ikan sedangkan dikolam tanah bibit bisa langsung dimasukan, grading atau seleksi ukuran akan lebih intensif dilakukan pada pemeliharaan di jaring apung atau jaring tancap, sedangkan untuk kolam tanah cukup sekali saja. untuk panen di ukuran 300gr bisa memakan waktu pemeliharaan selama 4-5bulan, sedangkan untuk ukuran 500gr s/d 1kg memakan waktu pemeliharaan selama 13bulan. pakan yang diberikan berupa pelet atau ikan rucah. selamat mencoba...
Selective breeding and management broodstock of barramundi Lates calcarifer Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT, UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2019 BUDIDAYA IKAN KAKAP PUTIH Lates calcariferBloch, 1790 BERBASIS EKOSISTEM TIM PENELITIAN TERAPAN RISTEK-DIKTI 2019 Irmawati Alimuddin Asmi Citra Malina Tassakka Buku ini disusun atas kerjasama KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas penyusunan Dokumen Kebijakan Budidaya Ikan Kakap Putih Lates calcarifer Bloch, 1790 Berbasis Ekosistem. Dokumen ini bersifat living document karena masih terus berproses seiring dengan kegiatan yang baru menyelesaikan satu tahap dari tiga tahap yang direncanakan serta perkembangan di lapangan. Iktiofauna yang beragam mewakili sumberdaya genetik adalah sumber makanan manusia saat ini dan di masa depan serta berperan sebagai plasma nutfah akuakultur. Ikan memberi kontribusi penting bagi pemenuhan nutrisi manusia di seluruh belahan dunia sehingga kebutuhan akan produk perikanan meningkat setiap tahunnya. Terjadi resiko reduksi keragaman genetik di setiap sistem produksi perikanan. Namun sebaliknya, aktivitas serta kebijakan yang mempertimbangkan faktor-faktor genetik tidak banyak diterapkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perikanan. Adalah hal yang sangat penting untuk mengembangkan dan mengimplementasikan konservasi sumberdaya genetik ikan, dalam hal ini ikan kakap putih, sebagai sumber broodstock bagi kegiatan akuakultur dan sebagai sumber stok bagi kegiatan perikanan tangkap. Pengelolaan sumberdaya genetik ikan, termasuk ikan kakap putih terkait langsung dengan organisme akuatik lainnya serta harus memerhatikan faktor lingkungan, ekonomi, dan sosial secara terintegrasi. Dokumen ini menyediakan data-data tentang sebaran/distribusi broodstock dan database genetik dan pertumbuhan ikan kakap putih Lates calcarifer, Bloch 1790 yang akan bermanfaat dalam merancang program breeding dan rencana pengelolaan ikan kakap putih. Dokumen kebijakan ini, telah dibahas antar pakar di dalam tim dan akan dikonsultasikan dengan multi pihak lainnya, baik dengan pakar-pakar di luar tim, calon pengguna maupun pemerintah terkait pada direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2019. Data-data dasar terkait dengan sumberdaya genetik ikan kakap putih dan data lainnya dari spot-spot plasma nutfah ikan kakap putih lainnya, akan terus dilengkapi seiring dengan progress penelitian yang masih sementara berlangsung tahun I dari rencana tiga tahun pelaksanaan saat dokumen ini ditulis. Harapan penulis, dokumen ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menyusun dan melahirkan kebijakan terkait dengan konservasi dan pengembangan industri marikultur ikan kakap putih di Indonesia, khususnya breeding program dan pengelolaan kawasan konservasi sebagai tabungan induk dan kantong plasma nutfah ikan kakap putih. Makassar, 22 Oktober 2019 Tim Penyusun BAB I PENDAHULUAN A. PENGANTAR Keragaman genetik memengaruhi kemampuan spesies untuk merespons perubahan lingkungan baik buatan maupun alami dalam proses adaptasi agar mampu bertahan hidup. Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih tinggi, karena banyak alternatif kombinasi gen yang tersedia untuk merespons perubahan kondisi lingkungan yang dihadapi Dunham 2004. Informasi keragaman genetik, status genetik, dan keunggulan sifat suatu populasi serta peluang mate choice menjadi dasar kegiatan dalam melakukan program pemuliaan dan kegiatan budidaya yang lestari. Pelestarian keragaman genetik populasi diharapkan dapat menghasilkan produksi benih unggul yang berkualitas secara kontinu. Program seleksi dapat dilanjutkan dengan persilangan acak maupun terarah adalah kegiatan yang umum dilakukan untuk menghasilkan benih yang berkualitas baik sehingga produksi perikanan dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, sebagai awal, evaluasi keragaman genetik ikan kakap putih penting dilakukan untuk melihat potensi populasi ikan kakap putih pada beberapa spot plasma nutfah Indonesia sebagai sumber biodiversitas dalam ekosistem dan bahan dasar pembentukan induk unggul. Sumberdaya ikan kakap putih di Indonesia belum terpetakan. Potensi lestari ikan kakap putih di perairan Indonesia juga belum tersedia. Hasil pengamatan di lapangan mengungkap bahwa ikan kakap putih tertangkap oleh nelayan hanya sebagai hasil tangkapan sampingan by catch. Bahkan, pada umumnya di banyak daerah, jenis ikan ini dianggap sebagai hama bagi kegiatan budidaya udang dan ikan bandeng, sehingga diracun dan selanjutnya menimbulkan kesan bahwa ikan kakap putih ini tidak bernilai. Namun demikian, beberapa balai riset yang telah mengkaji dan mengembangkan usaha pembenihan ikan kakap putih di Indonesia, yaitu Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung, Balai Perikanan Budidaya Laut Batam, Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan BBRBLPP Gondol Bali, Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon dan Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar Sulawesi Selatan. Bahkan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP telah menetapkan Kabupaten Pinrang dan Maros sebagai kawasan pengembangan budidaya berbasis kawasan dengan komoditas ikan kakap putih. Ditjen Perikanan Budidaya sepanjang tahun 2018-2019 telah menyalurkan 1,08 juta ekor benih ikan kakap putih kepada kelompok pembudidaya ikan Pokdakan di Kabupaten Pinrang dan 384 ribu ekor kepada Pokdakan di Kabupaten Maros untuk dikembangkan pada tambak seluas ha dan 300 ha. Dalam melaksanakan pengembangan budidaya ikan kakap putih perlu dilakukan kajian kebijakan, termasuk kebijakan untuk mengkonservasi keanekaragaman genetik plasma nutfah ikan kakap putih terutama kaitannya dengan tabungan induk bagi kegiatan breeding program dan program breedingnya sendiri. Dokumen ini mencoba menyajikan informasi awal tentang data potensi ikan kakap putih di perairan Indonesia yang meliputi data tentang sebaran ikan kakap putih, data tentang identifikasi jenis dan filogeni, variasi genetik dan pertumbuhan serta kondisi terkini populasi ikan kakap putih di Indonesia. B. TUJUAN Menyediakan data tentang potensi ikan kakap putih secara molekuler dan biologi dimana selanjutnya data tersebut digunakan sebagai acuan dalam menyusun program breeding, strategi konservasi, serta manajemen dan pemanfaatan sumberdaya ikan kakap putih. BAB II PERMASALAHAN PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA PERIKANAN IKAN KAKAP PUTIH 1. Database dan informasi tentang distribusi dan status populasi ikan kakap putih belum tersedia di Indonesia. 2. Prospek pasar luar negeri ikan kakap putih yang besar belum diiringi oleh serapan pasar lokal yang memadai seperti ikan-ikan ekspor lainnya, khususnya di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Utara. 3. Prospek pasar lokal yang masih lesu di sebagian besar wilayah di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Utara disebabkan oleh ikan kakap putih tidak populer di sebagian besar wilayah di Sulawesi Selatan sehingga kurang diminati untuk dikonsumsi. Selain itu juga disebabkan oleh masih minimnya wawasan petambak/petani ikan tentang prospek bisnis serta teknologi pembesaran ikan kakap putih. 4. Sebagaian besar wilayah di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Utara, ikan kakap putih dianggap sebagai hama bagi budidaya udang dan ikan bandeng di hampir semua wilayah study sehingga penanggulangannya di lapangan dengan cara meracun untuk mempercepat proses persiapan lahan budidaya udang dan/atau ikan bandeng 5. Belum diterapkan langkah-langkah manajemen untuk mengurangi hasil tangkapan ikan-ikan muda yang belum matang gonad, terutama selama periode puncak migrasi untuk memberi kesempatan kepada ikan-ikan muda tersebut mencapai perairan tawar yang merupakan habitat dimana mereka bertumbuh menjadi ikan dewasa. 6. Degradasi lingkungan hidup mengakibatkan spawning ground, nursery ground dan feeding ground yang semakin terbatas dan terdegradasi 7. Ukuran populasi efektif Ne yang rendah, baik pada populasi wild type maupun pada kegiatan pembenihan berpeluang menurunkan keragaman genetik sebagai akibat dari bottle neck effect. 8. Belum tersedia data dan belum diterapkan kontrol tentang variasi genetik pada broodstock yang digunakan untuk memproduksi benih, serta pada benih introduksi/benih yang dirilis ke masyarakat pembudidaya. 9. Ikan kakap putih hanya bernilai ekonomis di Kabupaten Bone, Pinrang, Pare-Pare dan Takalar Sulawesi Selatan, dengan harga berkisar Rp. sampai Rp. per kilogram. Di daerah lainnya Wajo, Maros, Makassar dan Kalimantan Utara jenis ikan ini jarang dikonsumsi sehingga bernilai rendah. Di wilayah Makassar dan Wajo, ikan kakap putih lebih dikenal sebagai recreational fish dibandingkan sebagai ikan konsumsi. BAB III RENCANA STRATEGI KONSERVASI DAN SELEKSI BROODSTOCK IKAN KAKAP PUTIH Lates calcarifer, Bloch, 1790 Visi dan Misi Sebagai sebuah proses yang melibatkan banyak sektor dan kepentingan, maka program breeding dan konservasi plasma nutfah serta program seleksi broodstock ikan kakap putih mensyaratkan adanya kesamaan dan penyatuan visi dalam setiap tahap pelaksanaannya. Visi tersebut harus terukur sehingga dapat dievaluasi, bersifat holistik dan berkelanjutan, serta mampu mengintegrasikan semua bidang yang terkait. Visi tersebut adalah 1. “Breeding program ikan kakap putih dilakukan beriringan dengan konservasi variasi genetik di beberapa spot plasma nutfah wild type ikan kakap putih sebagai sumber biodiversitas dalam ekosistem dan bahan dasar pembentukan induk unggul” Ecosystem Approach for Aquaculture, EAA. 2. Menjadikan ikan kakap putih sebagai salah satu komoditas perikanan yang digemari dalam rangka penganekaragaman sumber protein berbahan dasar ikan dan peningkatan ekonomi masyarakat. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi pengelolaan pemanfaatan dan kegiatan produksi EAA ikan kakap putih adalah sebagai berikut 1. meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia SDM, khususnya yang terkait, di pusat maupun di daerah dalam rangka konservasi dan kegiatan produksi ikan kakap putih, 2. mengaplikasikan prinsip-prinsip konservasi pada habitat, populasi, dan proses produksi ikan kakap putih, khususnya pada populasi yang memiliki karakter unik, 3. menyediakan perangkat hukum yang memadai bagi upaya konservasi dan kegiatan produksi yang disertai dengan upaya penegakannya SASARAN Program breeding dan konservasi untuk peningkatan dan kesinambungan kegiatan produksi ikan kakap putih diarahkan untuk mencapai sasaran jangka pendek dan sasaran jangka panjang. Jangka pendek 1. menyusun profil, database sebaran dan status populasi, breeding value, serta rencana pemanfaatan dan produksi ikan kakap putih melalui program breeding dan konservasi sumber induk. 2. mengubah perspektif nelayan terhadap nilai ekonomi ikan kakap putih dari kurang bernilai menjadi bernilai ekonomi tinggi 3. terciptanya koordinasi program dan kegiatan produksi benih yang memerhatikan fitness populasi Jangka Panjang 1. meningkatkan produksi dan kualitas genetik ikan kakap putih untuk karakter pertumbuhan; sistem immun melalui pengembangan dan implementasi program vaksinasi massal; dan porsi edible flesh. 2. menghasilkan pemanfaatan yang berkelanjutan 3. meningkatkan nilai ekonomi ikan kakap putih sehingga menjadi salah satu komoditi yang berperan dalam peningkaan pertumbuhan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakat 4. meningkatkan peran serta dan akses masyarakat/nelayan/petani ikan dan swasta/dunia usaha dalam pengelolaan pemanfaatan dan kegiatan produksi ikan kakap putih BAB IV SEBARAN, SPECIES OVERVIEW, PERTUMBUHAN DAN GENETIK IKAN KAKAP PUTIH Deskripsi Ikan Kakap Putih Ikan kakap putih, Lates calcarifer Perciformes, Latidae pertama kali dideskripsikan pada tahun 1790 dengan nama Holocentrus calcarifer oleh Bloch. Pemberian nama genus Lates oleh Cuvier & Valenciennes 1828 untuk mencakup spesies lainnya, termasuk Nile perch Lates niloticus. Greenwood 1976 kemudian memasukkan ikan kakap putih ke dalam Famili Centropomidae. Famili Centropomidae dicirikan oleh dua sinapomorfis, yaitu 1 sisik sepanjang garis lateral memanjang hingga batas posterior sirip ekor dan 2 terdapat perluasan/ekspansi tulang saraf di vertebrae kedua pada anteroposterior. Famili Centropomidae bersifat monophyletic dengan phylogeny terdiri dari dua subfamily, yaitu Latinae dan Centropominae. Subfamili Latinae terdiri dari dua genera, yaitu Lates dan Psammoperca sementara subfamili Centropominae hanya terdiri dari satu genera yaitu Centropomus. Berbeda dengan Greenwood, Mooi and Gill 1995, Otero 2004 serta Smith and Craig 2007 menyatakan bahwa Centropomidae bersifat paraphyletic dimana Lates dan Psammoperca tergolong ke dalam Famili Latidae. Ikan kakap putih memiliki ciri-ciri morfologis sebagai berikut badan memanjang, gepeng, kepala lancip dengan bagian atas cekung, cembung di depan sirip punggung dan batang sirip ekor lebar. Memiliki mulut lebar, pada bagian rongga mulut terdapat lidah dan gigi-gigi halus pada rahang atas dan rahang bawah. Bagian bawah preoperculum berduri kuat. Operculum memiliki duri kecil. Sirip punggung terbagi dua dengan posisi sedikit di belakang sirip perut. Sirip punggung pertama terdiri dari enam hingga delapan VI – VIII jari-jari keras dan saling terhubung oleh selaput halus. Sirip punggung kedua terdiri dari satu I jari-jari keras dan 11 – 12 jari-jari lemah. Sirip dada pendek dan berbentuk bulat, lebih pendek dari sirip perut dan terdiri dari 13 – 18 jari-jari lemah. Sirip perut tidak mencapai anus dan terdiri dari satu jari keras dan 5-8 jari-jari lemah. Sirip dubur terdiri dari tiga jari-jari keras III>II>I dan jari-jari lemah 8-10. Sirip ekor berbentuk bulat rounded dan terdiri dari 15-18 jari-jari lemah. Pada umumnya, tinggi badan 29,30 – 33,35% dari panjang baku SL, namun ditemukan spesimen dengan tinggi badan hingga 37,50% dari SL. Satu duri kecil pada operkulum dengan posisi di atas garis lateral, dan 4-5 duri kecil pada bagian bawah preoperkulum. Pada umumnya, warna tubuh ikan kakap putih adalah hijau keabu-abuan dan pada bagian bawah tubuh berwarna keperakan. Akan tetapi, ikan kakap putih dari perairan pantai Kabupaten Bone warna tubuhnya dominan putih-keperakan dengan sirip ekor dan sirip anus berwarna hitam Gambar 1. Gambar 1. Ikan kakap putih, Lates calcarifer Ikan kakap putih atau barramundi adalah spesies estuari yang dapat mencapai ukuran panjang total hingga ± 200 cm, bobot lebih dari 50 kg, dan masa hidup hingga 20 tahun Shaklee et al. 1993. Barramundi adalah katadromous, yaitu ikan yang bermigrasi dari perairan tawar ke perairan estuari. untuk memijah atau bereproduksi. Pertumbuhan dan perkembangan Ikan kakap putih sebagian besar berlangsung di perairan tawar, sungai dan danau hingga umur 2 – 3 tahun yang terkoneksi dengan laut. Ikan dewasa yang berumur 3 – 4 tahun kemudian bermigrasi ke laut untuk pematangan kelamin hingga memijah. Setelah memijah, telur terbawa arus ke muara sungai, kemudian bermigrasi ke hulu untuk tumbuh hingga dewasa Kunvangkij et al. 1986; Irmawati et al. 2019. Peta Distribusi Ikan Kakap Putih Berikut adalah peta sebaran ikan kakap putih yang berhasil di data. Gambar 2. Peta sebaran ikan kakap putih Lates calcarifer, Bloch 1790 di Perairan Indonesia Pertumbuhan Ikan Kakap Putih Pertumbuhan adalah salah satu parameter penting pada kegiatan akuakultur. Pola pertumbuhan ikan kakap putih di beberapa lokasi sumber induk di Perairan Indonesia disajikan pada Tabel 1. Ikan kakap putih tumbuh dan berkembang secara proporsional di habitat alaminya. Ikan kakap putih di perairan pantai Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur bahkan memiliki pertumbuhan bobot yang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan panjangnya. Tabel 1. Perbandingan nilai “a” dan “b” hubungan panjang dengan bobot ikan kakap putih Lates calcarifer, Bloch 1790 jantan pada beberapa lokasi/populasi Perairan pesisir Galesong Selatan, Kabupaten Takalar Perairan pesisir Maros Baru, Kabupaten Maros Perairan pesisir Kecamatan Sajoangin, Kabupaten Wajo Perairan pesisir Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo Perairan pesisir Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone Perairan pesisir Kecamatan Sekatak, Bulungan, Kalimantan Timur Karamba Jaring Apung KJA Kabupaten Barru Keragaman Morfologi Ikan Kakap Putih Karakter morfologi yang membedakan ikan kakap putih dari Takalar, Bone, Wajo dan Bulungan adalah tinggi badan, caudal penducle dan diameter mata. Ikan kakap putih dari Wajo memiliki tingga badan lebih besar dibandingkan dengan ikan kakap putih dari Bone, Bulungan dan Takalar. Ikan kakap putih dari Bulungan memiliki caudal penducle yang lebih lebar dibandingkan dengan ikan kakap putih dari Bone, Wajo dan Takalar, sedangkan ikan dari Takalar memiliki diameter mata yang lebih besar dibandingkan dengan ikan kakap putih dari Bone, Wajo dan Bulungan. Gambar 2. Marka morfologi ikan kakap putih yang dapat digunakan sebagai pembeda antar ikan kakap putih dari beberapa lokasi/spot plasma nutfah Beberapa karakter meristik, seperti jari-jari sirip dorsal, tidak sempurnanya proses pemisahan organ sirip perut, jari-jari siri anal, terdokumentasi pada populasi ikan kakap putih hasil domestikasi yang dipelihara pada karamba jarring apung KJA Gambar 3, 4, 5. Gambar 3. Anomali karakter jari-jari sirip dorsal pada ikan kakap putih hasil domestikasi. A = normal; B = anomali Tinggi Badan Siwa > Bone > Bulungan > Takalar Caudal penducle Bulungan > Bone > Siwa > Takalar Diameter Mata Takalar > Bone > Siwa > Takalar > Bulungan Gambar 4. Proses pemisahan sirip perut yang tidak sempurna A dan anomali karakter jari-jari sirip anal B pada ikan kakap putih hasil domestikasi Gambar 5. Keragaman pada pyloric caeca ikan kakap putih Keragaman Genetik Ikan Kakap Putih di Teluk Bone dan Selat Makassar Data keragaman haplotype dan keragaman nukleotida ikan kakap putih di beberapa sumber plasma nutfah Perairan Indonesia masing-masing disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Total jumlah haplotype ikan kakap putih yang terdeteksi adalah tujuh, lima haplotype pada populasi liar dan tiga haplotype pada populasi terdomestikasi. Hanya satu haplotype yaitu Hap1 pada populasi ikan kakap putih di perairan pantai Kabupaten Bone monomorfik sedangkan pada populasi ikan kakap putih di perairan pantai Kabupaten Takalar terdeteksi lima haplotype Hap1, Hap2, Hap3, Hap10, dan Hap13 polymorfik dan dua diantaranya, yaitu Hap3 dan Hap13 merupakan haplotype unik atau spesifik. Berdasarkan keragaman haplotype dan keragaman nukleotida, ikan kakap putih pada spot plasma nutfah Perairan Pantai Takalar memiliki keragaman genetik tertinggi, yang kemudian disusul oleh ikan kakap putih dari spot plasma nutfah Kabupaten Wajo. Sedangkan keragaman genetik ikan kakap putih pada spot plasma nutfah Bone adalah yang terendah. Keragaman genetik ikan kakap putih hasil domestikasi yang merupakan progeny dari populasi ikan kakap putih dari perairan pantai Takalar memiliki keragaman haplotype dan keragaman nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan dengan keragaman genetik populasi induknya. Tabel 2. Sebaran haplotipe ikan kakap putih di Perairan Indonesia Tabel 3. Situs polimorfik, jumlah haplotipe dan keragaman nukleotida ikan kakap putih di Perairan Indonesia Rata-rata Jumlah Nukleotida yang Terdferensiasi Differensiasi genetik secara global dapat diestimasi melalui nilai pair-wise comparison FST dan jarak genetik GST Tabel 4. Nilai FST dan GST ikan kakap putih berturut-turut adalah 0,196 dan 0,225. Pada populasi ikan kakap putih liar nilai FST dan GST terkecil berturut-turut adalah dan Wajo vs Bone dan nilai FST dan GST terbesar adalah di antara populasi Bone dan Takalar, yaitu 0,2971 untuk FST dan 0,3043 untuk GST. Nilai FST menunjukkan bahwa 19,6% dari total keragaman genetik antara dua populasi terkait dengan differensiasi genetik sedangkan nilai GST sebesar 22,5% menunjukkan bahwa 22,5% keragaman genetik terjadi antar populasi. Populasi ikan kakap putih pada perairan Teluk Bone dan Selat Makassar secara umum mengalami differensiasi, kecuali populasi antara ikan kakap putih dari perairan pantai Kabupaten Bone dan Wajo P < Perairan pantai Kabupaten Bone dan Wajo masih terletak pada wilayah geografis yang sama, yaitu Teluk Bone, sehingga Hap1 Hap2 Hap3 Hap4 Hap5 Hap6 Hap7 Hap8 Hap9 Hap10 Hap11 Hap12 Hap13Coastal - Bone Regency wild type Coastal - Wajo Regency wild type Estuary - Takalar Regency wild type Brackish pond - Maros Regency wild type KJA - Barru Regency domesticated KU692587_L_calcarifer Cilegon Banten Australia Singapore memungkinkan terjadinya aliran gen di antara dua populasi ikan kakap putih di wilayah tersebut. Tabel 4. Matriks nilai jarak genetik GST diagonal bagian atas dan nilai pair-wise comparison FST diagonal bagian bawah pada tiga populasi liar dan satu populasi terdomestikasi ikan kakap putih Lates calcarifer, Block 1790 Berdasarkan analisis maximum likelihood tree dengan menggunakan metode Kimura-2-parameters distance, dengan bootstrap 1000 kali menunjukkan bahwa ikan kakap putih dari perairan pantai Teluk Bone dan Selat Makassar serta ikan kakap putih terdomestikasi dikelompokkan ke dalam empat klaster dengan dasar pengelompokan yang kuat, kecuali klaster III yang mengelompok dengan dasar pengelompokan yang lemah. Klaster III menunjukkan bahwa ikan kakap putih L. calcarifer dari Selat Makassar dan Teluk Bone memiliki kekerabatan yang jauh dengan L. calcarifer yang mendiami perairan Australia. Klaster I didominasi oleh L. calcarifer dari Teluk Bone 91,67%, namun demikian, terdapat 8,33% L. calcarifer stok liar dari Selat Makassar yang berkerabat dekat dengan L. calcarifer dari Teluk Bone. Pada Klaster II, 62,50% L. calcarifer berasal dari Selat Makassar dan masing-masing terdapat 12,50% L. calcarifer terdomestikasi yang merupakan generasi I dari induk Selat Makassar, dari Teluk Bone, dan L. calcarifer dari Cilegon Banten. Klaster IV adalah kelompok L. calcarifer domestikasi dengan induk asal Selat Makassar dan L. calcarifer Selat Makassar Gambar 6. Bone Wajo Takalar DomesticatedBone 0,0387 0,3043 0,4379Wajo 0,0667 0,1138 0,1590Takalar 0,2971* 0,2278* -0,0085Domesticated 0,3580* 0,3050* -0,1723* Gambar 6. Filogeni ikan kakap putih Lates calcarifer Bloch, 1790 dari empat wild stocks dan satu domesticated stock Dalam pengelolaan sumberdaya hayati perikanan, konservasi adalah konsep yang sangat penting. Manajemen perikanan yang baik membutuhkan langkah-langkah konservasi yang efektif, yang membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang struktur populasi ikan. Salah satu parameter populasi yang paling penting untuk menilai nasib suatu populasi adalah ukuran populasi efektif Ne karena Ne menentukan ukuran variasi/keragaman genetik, genetic drift, dan ketidakseimbangan disequilibrium di dalam populasi. Pada spesies ikan dan kerang yang berfekunditas tinggi, yang menghasilkan ribuan atau bahkan jutaan telur dari satu betina, memiliki ukuran populasi family size yang besar, yang selanjutnya dapat menurunkan Ne. Populasi efektif yang kecil selanjutnya menyebabkan meningkatnya peluang inbreeding yang merupakan penyebab hilangnya variasi genetik Ukuran populasi actual yang besar, yang beberapakali lebih besar dari ukuran populasi efektif adalah gambaran bottleneck yang dapat menurunkan fitness populasi. BAB V KONSEP DASAR BREEDING PROGRAMME Teori Pemilihan Pasangan Mate Choice Teory Mate choice memilih pasangan merupakan elemen penting reproduksi pada banyak taksa Davies et al. 2012; Kappeler 2010. Pemilihan pasangan di lingkungan alami dan lingkungan penangkaran atau budidaya berbeda, dimana pada lingkungan budidaya ukuran populasi efektif Ne atau peluang memilih pasangan adalah terbatas. Pada kondisi budidaya pasangan-pasangan induk broodstocks telah disediakan dengan maksud untuk mempertahankan keragaman genetik maksimum. Keragaman genetik di dalam breeding program merupakan parameter yang penting, akan tetapi harus dibarengi dengan jaminan kompatibilitas genetik dan/atau perilaku antar individu. Hewan-hewan terdomestikasi biasanya kehilangan beberapa atribut fisiologi dan perilaku/karakter dibandingkan saat mereka hidup di lingkungan alami-nya dan hal tersebut berimplikasi terhadap fitness atau kebugaran. Mate choice dapat meningkatkan kompatibilitas genetik dan perilaku antar pasangan dan dengan demikian meningkatkan keberhasilan reproduksi pada suatu kegiatan budidaya. Memadukan mate choice dan keragaman genetik adalah langkah penting di dalam breeding program. Teori sexual selection yang dikemukan oleh Trivers 1972 menyatakan bahwa ikan betina lebih selektif memilih pasangan pada kegitan reproduksi karena differential investment berinvestasi lebih selektif dalam memproduksi gamet dan karena alasan parental care. Kokko et al 2003 dan Athiainen et al. 2004 menambahkan bahwa peluang keberhasilan reproduksi ikan betina lebih terbatas dibandingkan dengan ikan jantan sehingga ikan betina berinvestasi lebih selektif dalam reproduksi. Ikan betina akan memilih di antara sekian banyak pasangan jantan yang lebih compatible secara genetik atau pasangan dengan kualitas “good genes” untuk meningkatkan fitness populasinya dan fitness keturunannya yang akan diwariskan pada musim pemijahan. Teori pemilihan pasangan tersebut di atas secara alamiah akan membantu mempertahankan keragaman genetik pada level individu maupun pada level populasi. Brown 1997, 1999 dan Kempenaers 2007 mengemukakan “Teori Heterozigositas” yang memprediksi bahwa preferensi betina yang lebih terarah di dalam memilih pejantan yang memiliki variasi alel yang lebih besar dan cenderung menghindari perkawinan sedarah inbreeding. Jadi, selain keragaman genetik yang merupakan faktor yang penting, kombinasi gen-gen yang timbul dari interaksi gen tetua dan terkait dengan fisiologi dan tingkah-laku pemijahan adalah juga merupakan variabel yang memiliki kontribusi yang sangat bermanfaat, yang patut untuk diperhitungkan selain heterozigositas di dalam suatu breeding program. Neff & Pritcher 2005 memprediksi bahwa betina akan memilih pasangan pejantan yang secara bersama-sama akan dapat memproduksi keturunan offspring dengan variasi genetik dan kombinasi-kombinasi gen yang optimum. Selective Breeding Selective breeding merupakan suatu program yang telah terbukti memberi banyak manfaat dan keuntungan pada kegiatan budidaya ikan karena kemampuannya meningkatkan produksi melalui pemanfaatan pakan, tanah dan sumberdaya air yang lebih optimal. Langkah pertama untuk memulai breeding program adalah mengumpulkan informasi dasar tentang founder population atau base population populasi dasar. Informasi dasar yang dimaksud dapat berupa potensi reproduksi, keragaman genetik, dan fitness/kebugaran populasi termasuk potensi immunitas populasi. Salah satu strategi adalah mengukur semua karakter atau sifat yang dimiliki oleh populasi liar wild stock dan kemudian melakukan seleksi untuk memaksimalkan variasi dari karakter-karakter yang menguntungkan. Namun demikian, beberapa karakter seperti ketahanan terhadap penyakit dan kualitas daging merupakan variabel yang sulit untuk dijadikan sebagai tolak ukur penciri populasi liar karena dipengaruhi oleh banyak variabel independen lainnya. Karakterisasi populasi berdasarkan sebaran geografis untuk pembentukan populasi dasar antara lain telah dilakukan oleh Gjedrem et al. 1991. Gjedrem et al. 1991 melaporkan bahwa 92,6% keragaman genetik ikan salmon berasal dari keragaman intra populasi dan 7,4% berasal dari keragaman inter populasi. Marka molekuler atau marka DNA adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendesain populasi dasar pada program breeding budidaya ikan, termasuk budidaya ikan kakap putih. Data analisis genetik ikan kakap putih berdasarkan gen COI mitochondrial menunjukkan adanya beberapa SNP single nucleotide polymorphism dan pita spesifik RAPD random amplified polymorphic DNA pada genom ikan kakap putih. Penemuan SNP dan pita spesifik RAPD ikan kakap putih akan ditindaklanjuti dengan menginvestigasi korelasi antara keanekaragaman genetik berdasarkan marka COI dan RAPD dengan keragaman karakter-karakter quantitative, yaitu karakter yang terkait resistensi terhadap penyakit dan pertumbuhan. Meningkatkan Kualitas Genetik Stok Hingga saat ini selective breeding masih merupakan opsi terbaik untuk meningkatkan kualitas genetik. Dengan menggunakan banyak family dalam program breeding, masalah yang ditimbulkan oleh inbreeding dapat direduksi sehingga laju perbaikan genetik di dalam stock dapat ditingkatkan. Pengembangan program genetik yang optimal merupakan tantangan bagi budidaya ikan kakap putih. Langkah pertama dari selective breeding adalah mendefenisikan dengan jelas tujuan breeding, setting karakter-karakter yang akan dikembangkan, dan kemudian mengidentifikasi strain-strain yang memiliki performa terbaik berdasarkan breeding goal traits, sehingga kegiatan seleksi dapat dimulai. Langkah berikutnya adalah memutuskan karakter mana yang akan dinilai dan digunakan sebagai dasar seleksi. Pada walk-back selection, ikan dari beberapa family dipelihara di dalam satu wadah. Seleksi dilakukan terhadap individu dengan karakter fenotipik dan genotype terbaik kemudian dicrossbreeding dengan tetua/broodstock dari generasi sebelumnya. Seleksi terhadap genotype terbaik dapat dilakukan dengan menggunakan marka molekuler. Gambar 7. Ilustrasi walk-back selection Gambar 8. Ilustrasi analisis pedigree menggunakan marka molekuler. Kotak paling atas adalah genotype tetua. Pita-pita merepresentasikan ukuran fragmen DNA yang berbeda. Kotak ditengah adalah genotype offspring dari masing-masing hasil persilangan. BAB VI KEBIJAKAN Berdasarkan misi yang telah ditetapkan dan hasil analisis keragaman genetik, maka dokumen kebijakan ini merekomendasikan tentang strategi pengelolaan dan pemanfaataan ikan kakap putih kaitannya dengan kegiatan produksi melalui breeding program sebagai berikut 1. Konservasi terhadap spot-spot plasma nutfah alami ikan kakap putih penting untuk dilakukan sebagai tabungan induk. Hal tersebut akan sangat menunjang aquaculture breeding schemes, yang menganut prinsip bahwa dengan menggunakan banyak family dalam program breeding, masalah yang ditimbulkan akibat inbreeding dapat direduksi sehingga laju perbaikan genetik dan kontrol fitness populasi yang tereduksi di dalam stock senantiasa akan dapat dilakukan dan ditingkatkan. 2. Terkait dengan keragaman genetik yang tidak merata di setiap populasi dan antar populasi direkomendasikan untuk menerapkan model seleksi famili yang dikombinasikan dengan walk-back selection pada program breeding ikan kakap putih. Seleksi walk-back dengan seleksi induk yang dioptimalkan untuk memilih tetua untuk generasi berikutnya. Walk-back selection dapat digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik ikan kakap putih karena akan mengendalikan tingkat akumulasi perkawinan sedarah akibat distribusi yang tidak merata dari sekumpulan famili. Kemajuan genetik dievaluasi dengan best linear unbiased prediction BLUP. Gambar 6. Breeding program ikan kakap putih Lates calcarifer, Bloch 1790 KeragamanGenetikIdentifikasiPlasma NutfahIkan Kakap PutihSeleksi BroodstockKarakterPertumbuhanBenihKeragaman GenetikRendah Keragaman GenetikRendahKarakterisasi 3. Ikan kakap putih adalah ikan peruaya dengan siklus recruitment yang sangat lama. Ikan kakap putih membutuhkan waktu sekitar 4 – 5 tahun untuk matang fungsional sebagai ikan jantan dan 6 – 8 tahun untuk matang fungsional sebagai ikan betina. Kedua karakter tersebut menyebabkan ikan ini rentang terhadap kepunahan sehingga sangat penting untuk menentukan wilayah konservasi pada jalur-jalur ruaya ikan kakap putih. Wilayah konservasi yang direkomendasikan adalah wilayah perairan pantai dan DAS di Desa Akkotengeng Kabupaten Wajo dan wilayah perairan pantai dan DAS Sungai Saro Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar sebagai wilayah dengan keanekaragaman genetik ikan kakap putih yang tinggi, dan perairan pantai dan DAS di Desa Ajalasse Kabupaten Bone sebagai wilayah dengan keanekaragaman genetik yang rendah. Penentuan luasan Kawasan konservasi dan zona inti membutuhkan kajian dan evaluasi lebih lanjut. 4. Keragaman genetik ikan kakap putih yang rendah di spot plasma nutfah perairan pantai Kabupaten Bone dapat disebabkan oleh ukuran populasi efektif Ne yang lebih rendah dibandingkan dengan ukuran populasi pada spot plasma nutfah lainnya. Ukuran Ne yang kecil selain disebabkan oleh karakter biologi-reproduksinya hermaprodit protandri, juga dapat disebabkan oleh mortalitas yang tinggi akibat penangkapan yang tidak ramah lingkungan, alih fungsi lahan dan degradasi habitat. Terkait dengan hal tersebut, maka direkomendasikan untuk menghentikan kegiatan meracun ikan-ikan predator termasuk ikan kakap putih dengan menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya dan sekaligus mengupayakan solusi teknologi persiapan lahan tambak udang/bandeng yang ramah lingkungan untuk memulihkan fitness populasi ikan kakap putih di Kabupaten Bone dan kabupaten lainnya. Pembatasan dan pengawasan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan kakap putih dan penentuan nilai minimal ukuran layak tangkap penting untuk dilakukan dalam rangka meningkatkan fitness populasi ikan kakap putih wild type. 5. Melakuka evaluasi breeding value wild stock ikan kakap putih pada berbagai wilayah geografis memberikan potensi yang besar untuk mendapatkan keuntungan genetik yang lebih signifikan. 6. Konservasi ikan kakap putih wild stock dapat dilakukan dengan aplikasi bioteknologi, yaitu penggunaan marka molekuler untuk mengestimasi Ne ukuran populasi efektif di dalam populasinya wild population, untuk mengevaluasi aliran gen gene flow antara populasi terdomestikasi/budidaya dengan populasi liar wild population dan untuk memantau perubahan ukuran populasi ikan liar. 7. Menutup aktifitas memancing bagi para “pemancing maniak” seabass, dimana barramundi merupakan salah satu ikan target, selama periode migrasi ikan-ikan muda sebagai upaya untuk meningkatkan ukuran populasi ikan-ikan dewasa. Selain itu juga dibutuhkan langkah-langkah tambahan untuk melindungi ikan-ikan dewasa/matang gonad dalam migrasinya menuju spawning ground. 8. Merancang suatu kegiatan untuk mensosialisasikan keunggulan sumberdaya ikan kakap putih dalam rangka membuka jalur tataniaga ikan kakap putih mulai dari level petani hingga level industri untuk menghentikan kegiatan meracun ikan kakap putih . PUSTAKA Athiainen JJ, Alatalo RV, Mapes J, Vertainen L. 2004. Decreased sexual signalling reveals reduced viability in small population of the drumming wolf spider, Hygrolycosa rubrofasciata. Proc. R. Soc. Lond. Ser. B 271, 1839-1845. Brown JL. 1997. A theory of mate choice based on heterozygosity. Behaviour Ecology, 860-65. Brown JL. 1999. The new heterozygosity theory of mate choice and the MHC. Genetica, 104215-221. Cuvier G, Valenciennes A. 1828. Histoire naturelle des poisons. Tome Second. Livre Troisieme. Des poisons de la familledes perches, ou des percoides. Levrault, Paris. 490 pp. Davies NB, West SA, Krebs JR. 2012. An Introduction to Behavioural Ecology. Fourth edition, Wiley-Blackwell Oxford. Dunham RA. 2004. Aquaculture and Fisheries Biotechnology Genetic Approaches. Book Reviewes. Aquaculture International, 133285-288. Gjedrem T, Gjøen HM, Gjerde B. 1991. Genetic origin of Norwegian farmed Atlantic salmon. Aquaculture 98, 41-50. Greenwood PH. 1976. A review of the family Centropomidae Pisces, Perciformes. Bull. Brit. Mus. Nat. Hist., Zool. 291-81. Kappeler P. 2010. Animal behaviour. Evolution and Mechanisms. Springer, Berlin. Kempenaers B. 2007. Mate choice and genetic quality a review of the heterozygosity theory. Advanced Study Behaviour, 37189-278. Kokko H, Brooks R, Jennions MD, Morley J. 2003. The evolution of mate choice and mating biases. Proc. R. Soc. Lond. Ser. B 270, 653-664. Laird L, Stead SM. 2002. The handbook of Salmon Farming. Springer. Mooi RD, Gill AC. 1995. Association of epaxial musculature with dorsal-fin pterygiophores in acanthomorph fishes, and its phylogenetic significance. Bull. Nat. Hist. Mus. Lond. Zool. 61121-137. Neff BD, Pritcher TF. 2005. Genetic quality and sexual selection an integrated framework for good genes and compatible genes. Mol. Ecol., 1419-38. Otero O. 2004. Anatomy, systematics and phylogeny of both recent and fossil latid fishes Teleostei, Perciformes, Latidae. Zool. J. Linn. Soc. 14181-133. Smith WL, Craig MT. 2007. Casting the Percomorph net widely the importance of broad taxonomic sampling in the search for the placement of serranid and percid fishes. Copeia. 35-55. Trivers RI. 1972. Parental investment and sexual selection. Aldine Publishing, Chicago. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Olga OteroThe anatomical investigation of the osteology of both fossil and Recent species of the so-called Centropomidae was conducted with three aims of improving the taxa definition, providing anatomical descriptions suitable for palaeontological studies and establishing a hypothesis for the phylogenetic relationships of the family. The family interrelationships are reviewed according to phylogenetic principles and reconstructed based on a cladistic analysis using 29 characters 28 osteological, and one myological. The family Centropomidae as previously defined is paraphyletic. The new family Latidae is monophyletic and includes Lates, Psammoperca and †Eolates. The two former genera are monophyletic whereas the latter genus is polyphyletic. Three fossil species are attributed to †Eolates. The family Centropomidae is monogeneric with Centropomus. © 2004 The Linnean Society of London, Zoological Journal of the Linnean Society, 2004, 141, 81– Leo Smith Matthew Thomas CraigThe limits and relationships of serranid and percid fishes, in the context of the percomorph radiation, were resolved using 4036 aligned base pairs of mitochondrial and nuclear DNA sequence data for 180 acanthomorph species. Representatives of all major serranid and percid lineages were analyzed along with 91 additional families from six acanthomorph orders and 25 suborders. Percidae was recovered as monophyletic, and the traditional Serranidae was recovered as polyphyletic, forming five clades Niphon, Acanthistius, Epinephelinae less Niphon, Anthiinae less Acanthistius and Zalanthias kelloggi [formerly included in Plectranthias], Serraninae including Zalanthias kelloggi. These traditional "percoid" families were separated from all other "percoid" taxa and recovered within a clade composed of the mail-cheeked fishes and their allies. Based on the evidence provided in this molecular study and prior morphological studies, we recommend taxonomic changes to the Perciformes, Percoidei, Trachinoidei, and Serranidae, we resurrect the Epinephelidae and Niphonidae, and we create a new group, the Moronoidei, to reflect our recovered relationships. Peter KappelerThe study of animal behaviour is one of the fastest growing sub-disciplines in biology. The resulting diversity of conceptual approaches and methodological innovations makes it increasingly difficult for professionals and students to keep abreast of important new developments. This edited volume provides up-to-date reviews that facilitate orientation in key areas of animal behaviour, including communication, cognition, conflict, cooperation, sexual selection and behavioural variation. The contributions address evolutionary and proximate aspects of behaviour and also cover both invertebrates and vertebrates. Important concepts are dealt with in separate glossaries and key examples highlighted in separate text boxes. Richly illustrated with colour figures, this volume offers a well structured overview of all the main developments in current animal behaviour research. It is ideal for teaching upper-level courses, where it will be essential reading for advanced students familiar with basic concepts and ideas. Bart KempenaersThis chapter presents a review of mate choice and genetic quality, defines mate choice, and discusses some of the key issues about how individuals can benefit from being choosy, including the distinction between two main types of genetic benefits. It also focuses on heterozygosity and fitness and presents an overview of the methods that have been used to estimate individual heterozygosity or relatedness among individuals. It also presents a review of the studies that have found correlations between individual heterozygosity and a variety of fitness‐related traits. The chapter consists of two parts—mate choice based on relatedness with the partner, which is choice to optimize offspring heterozygosity and the link between the evolution of promiscuity and inbreeding survey of acanthomorphs reveals that epaxialis attachments to distal radials or the distal tips of proximal-middle pterygiophores have a relatively restricted distribution. Four basic morphotypes are recognized Type 0 - no distal insertions of epaxialis lampridiforms, polymixiiforms, basal paracanthopterygians, zeiforms, beryciforms, smegmamorphs, pleuronectiforms and many perciforms; Type 1 - partially separate epaxialis slips inserting on to dorsoposterior and dorsolateral processes of proximal-middle and/or distal radialsbatrachoidids [Paracanthopterygii], scorpaeniforms, and among perciforms in blennioids, most cirrhitoids, apogonids, centrogeniids, latine centropomids, grammatids, haemulids, percids, serranids, champsodontids and cheimarrhichthyids; Type 2 - insertions of epaxialis to distal portions of pterygiophores without separate slips possibly basal tetraodontiforms, various perciform taxa including callionymoids, notothenioids, zoarcoids, and some cirrhitids, labrids, percoids and trachinoids; Type 3 - completely separate slip of muscle dorsal to the main body of the epaxialis inserting on to anterior pterygiophore shaft with dorsal insertions on to more posterior spine-bearing pterygiophores, and the first ray-bearing pterygiophore, then becoming continuous with the supracarinalis posterior percoid family Mullidae. Type 0 is considered to be plesiomorphic, and the remaining morphologies apomorphic. Their phylogenetic significance is discussed in the context of other characters. Among our conclusions, the Scorpaeniformes is awarded subordinal status within the Perciformes, and the centropomid Latinae is given full familial after farming of Atlantic salmon began in Norway, a selection experiment was started in 1971. Over a 4-year period, broodstock of Atlantic salmon were sampled in 41 different rivers and localities resulting in four populations. In forming the base population generation 0, mating was done within strains to produce full- and half-sib families. In later generations mating was done both within and between strains. Data from the first three generations of selection have been analysed to study the genetic origin of the four populations. One to three strains dominate each population. The importance of selective breeding in fish farming is stressed.
Budidaya Ikan Kakap PutihPemilihan LokasiSarana Dan Alat BudidayaOprasional Budidaya Indonesia memiliki potensi sumber daya perairan yang cukup besar untuk usaha budidaya ikan, namun usaha budidaya ikan kakap belum banyak berkembang, sedangkan di beberapa negara seperti Malaysia, Thailand dan Singapura, usaha budidaya ikan kakap dalam jaring apung floating net cage di laut telah berkembang. Ikan Kakap Putih Lates calcarifer, Bloch atau lebih dikenal dengan nama seabass/Baramundi merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Produksi ikan kakap di indonesia sebagian besar masih dihasilkan dari penangkapan di laut, dan hanya beberapa saja diantarannya yang telah di hasilkan dari usah pemeliharaan budidaya. Salah satu faktor selama ini yang menghambat perkembangan usaha budidaya ikan kakap di indonesia adalah masih sulitnya pengadaan benih secara kontinyu dalam jumlah yang cukup. Untuk mengatasi masalah benih, Balai Budidaya Laut Lampung bekerja sama dengan FAO/UNDP melalui Seafarming Development Project INS/81/008 dalam upaya untuk memproduksi benih kakap putih secara massal. Pada bulan April 1987 kakap putih telah berhasil dipijahkan ddengan rangsangan hormon, namun demikian belum diikuti dengan keberhasilan dalam pemeliharaan larva. Baru pada awal 1989 kakap putih dengan sukses telah dapat dipelihara larvanya secara massal di hatchery Balai Budidaya Lampung. Budidaya Ikan Mujair Dalam upaya pengembangan budidaya ikan kakap putih di indonesia, telah dikeluarkan Paket Teknologi Budidaya Kakap Putih di Karamba Jaring Apung melalui rekomendasi Ditjen Perikanan No. IK. 330/D2. 10876/93K, yang dilanjutkan dengan Pembuatan Petunjuk Teknis Paket Teknologi. Ikan kakap putih adalah ikan yang mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap kadar garam Euryhaline dan merupakan ikan katadromous dibesarkan di air tawar dan kawin di air laut. Sifat-sifat inilah yang menyebabkan ikan kakap putih dapat dibudidayakan di laut, tambak maupun air tawar. Pada beberapa daerah di Indonesia ikan kakap putih dikenal dengan beberapa nama seperti pelak, petakan, cabek, cabik Jawa Tengah dan Jawa Timur, dubit tekong Madura, talungtar, pica-pica, kaca-kaca Sulawesi. Ikan kakap putih termasuk dalam famili Centroponidae, secara lengkap taksonominya adalah sbb Phillum Chordata Sub phillum Vertebrata Klas Pisces Subclas Teleostei Ordo Percomorphi Famili Centroponidae Genus Lates Species Lates calcarifer Block Ciri-ciri morfologis antara lain adalah Badan memanjang, gepeng dan batang sirip ekor Pada waktu masih burayak umur 1 ~ 3 bulan warnanya gelap dan setelah menjadi gelondongan umur 3 ~ 5 bulan warnanya terang dengan bagian punggung berwarna coklat kebiru-biruan yang selanjutnya berubah menjadi keabu-abuan dengan sirip berwarna abu-abu Mata berwarna merah Mulut lebar, sedikit serong dengan geligi halus. Bagian atas penutup insang terdapat lubang kuping Sirip punggung berjari-jari keras 3 dan lemah 7 ~ 8. Sedangkan bentuk sirip ekor 13 Cara Budidaya Lele Sangkuriang Bagi Pemula Kolam Tanah & Tembok Pemilihan Lokasi Sebelum kegiatan budidaya dilakukan terlebih dahulu diadakan pemilihan lolkasi. Pemilihan lokasi yang tepat akan menentukan keberhasilan usaha budidaya ikan kakap putih. Secara umum lokasi yang baik untuk kegiatan usaha budidya ikan di laut adalah daerah perairan teluk, lagoon dan perairan pantai yang terletak diantara dua buah pulau selat. Beberapa persyaratan teknis yang harus di penuhi untuk lokasi budidaya ikan kakap putih di laut adalah Perairan pantai/ laut yang terlindung dari angin dan gelombang Kedalaman air yang baik untuk pertumbuhan ikan kakap putih berkisar antara 5 ~ 7 Pergerakan air yang cukup baik dengan kecepatan arus 20-40 cm/detik. Kadar garam 27 ~ 32 ppt, suhu air 28 ~ 30 0C dan oksigen terlarut 7 ~ 8 ppm Benih mudah Bebas dari pencemaran dan mudah Tenaga kerja cukup tersedia dan Sarana Dan Alat Budidaya Sarana dan Alat Pemeliharaan ikan kakap di laut umumnya dilakukan dalam keramba jaring apung floating net cage dengan metoda operasional secara mono kultur. Secara garis besar keramba jaring apung terdiri dari beberapa bagian yaitu Jaring Jaring terbuat dari bahan Bahan Jaring PE 210 D/18 dengan ukuran lebar mata 1 ~ 1,25”, guna untuk menjaga jangan sampai ada ikan peliharaan yang lolos Ukuran 3 m x 3 m x 3 m 1 Unit Pembesaran 6 jaring 4 terpasang dan 2 jaring cadangan Kerangka/Rakit Kerangkan berfungsi sebagai tempat peletakan Bahan Bambu atau kayu Ukuran 8 m x 8 m Pelampung Pelampung berpungsi untuk mengapungkan seluruh sarana budidaya atau barang lain yang diperlukan untuk kepentingan pengelolaan Jenis Drum Volume 120 liter Jumlah 9 Jangkar Agar seluruh sarana budidaya tidak bergeser dari tempatnya akibat pengaruh angin, gelombang digunakan Jenis yang dipakai Besi atau beton 40 kg. Jumlah 4 buah Panjang tali Minimal 1,5 kali ke dalam air Ukuran benih yang akan Dipelihara 50-75 gram/ekor Pakan yang digunakan ikan rucah Perahu Jukung Peralatan lain ember,serok ikan, keranjang, gunting Penyakit Ikan Nila Konstruksi wadah pemeliharaan Gambar 1. Kerangka Rakit Perakitan karamba jaring bisa dilakukan di darat dengan terlebih dahulu dilakukan pembuatan kerangka rakit sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Keangkan ditempatkan di lokasi budidaya yang telah direntukan dan agar tetap pada tempatnya tidak terbawa arus diberi jangkar sebanyak 4 buah. Jaring apung apa yang telah dibuat berbentuk bujur sangkar pada kerangka rakit dengan cara mengikat keempat sudut kerangka. Cara pengikatan jaring dapat dilihat pada gambar 2. Gambar 2. Cara Mengikat Jaring Untuk membuat jaring agar berbentuk bujur sangkar, maka pada sudut bagian bawah jaring diberi pemberat seperti pada gambar 3 di bawah ini. Gambar 3. Jaring Berbentuk Bujur Sangkar Cara Budidaya Sidat Untuk dapat mengikat bambu/kayu dengan mudah dapat dilihat pada gambar 4. Gambar 4. Pelampung Diikatkan pada Bambu/Kerangka Rakit Oprasional Budidaya Metode Pemeliharaan Benih ikan yang sudah mencapai ukuran 50-70 gram/ekor dari hasil pendederan atau hatchery, selanjutnya dipelikara dalam kurungan yang telah disiapkan. Penebaran benih ke dalam karamba/jaring apung dilakukan pada kegiatan sore hari dengan adaptasi terlebih dahulu. Padat penebaran yang ditetapkan adalah 50 ekor/m3 volume air. Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari pada pagi dan sore hari dengan takaran pakan 8-10% botol total badan perhari. Jenis pakan yang diberikan adalah ikan rucah trash fish. Konversi pakan yang digunakan adlah 61 dalam arti untuk menghasilkan 1 kg daging diperlukan pakan 6 kg. Selama periode pemeliharan yaitu 5-6 bulan, dilakukan pembersihan kotoran yang menempel pada jaring, yang disebabkan oleh teritif, algae, kerang-kerangan dll. Penempelan organisme sangat menggangu pertukaran air dan menyebabkan kurungan bertambah berat. Pembersihan kotoran dilakukan secara periodik paing sedikit 1 bulan sekali dilakukan secara berkala atau bisa juga tergantung kepada banyak sedikitnya organisme yang menempel. Penempelan oleh algae dapat ditanggulangi dengan memasukkan beberapa ekor ikan herbivora Siganus sp. ke dalam kurungan agar dapat memakan algae tersebut. Pembersihan kurungan dapat dilakukan dengan cara menyikat atau menyemprot dengan air bertekanan tinggi. Selain pengelolaan terhadap sarana /jaring, pengelolaan terhadap ikan peliharaan juga termasuk kegiatan pemeliharaan yang harus dilakukan. Setiap hari dilakukan pengontrolan terhadap ikan peliharaan secara berkala, guna untuk menghindari sifat kanibalisme atau kerusakan fisik pada ikan. Disamping itu juga untuk menghindari terjadinya pertumbuhan yang tidak seragam karena adanya persaingan dalam mendapatkan makanan. Budidaya Ikan Kerapu Penggolongan ukuran grading harus dilakukan bila dari hasil pengontrolan terlihat ukuran ikan yang tidak seragam. Dalam melakukan pengontrolan, perlu dihindari jangan sampai terjadi stress. Panen Lama pemeliharan mulai dari awal penebaran sampai mencapai ukuran ±500 gram/ekor diperlikan waktu 5-6 bulan. Dengan tingkat kelulusan hidup/survival rate sebesar 90% akan didapat produksi sebesar kg/unit/periode budidaya. Pemanenan dilakukan dengan cara mengangkat jaring keluar rakit, kemudian dilakukan penyerokan. Penyakit Publikasi tentang penyakit yang menyerang ikan-ikan yang dibudidayakan di laut seperti ikan kakap putih belum banyak dijumpai. Ikan kakap putih ini termasuk diantara jenis-jenis ikan teleostei. Ikan jenis ini sering kali diserang virus, bakteri dan jamur. Gejala-gejala ikan yang terserang penyakit antara lain adalah, kurang nafsu makan, kelainan tingkah laku, kelainan bentuk tubuh dll. Tindakan yang dapat dilakukan dalam mengantisipasi penyakit ini adalah menghentikan pemberian pakan terhadap ikan dan menggantinya dengan jenis yang lain; memisahkan ikan yang terserang penyakit, serta mengurangi kepadatan; memberikan obat sesuai dengan dosis yang telah Analisa Usaha 1 Tahun 2 Periode Budidaya Biaya Investasi Karamba jaring apung 1 unit Perahu jukung 1 unit Peralatan budidaya Jumlah 1 Rp. Biaya Operasional Benih 2 x ekor x Rp 200,- Rp. Pakan 2 x kg x Rp 250,- Rp. Tenaga kerja 2 orang x 1 x 6 buah x Rp. Jumlah 2 Rp. Jumlah biaya 1+2 Rp. + Rp Rp. Pendapatan 2 x kg x Rp Rp. Selisih pendapatan dan biaya total4-3 Rp. Penyusutan 50% x Rp Rp. Laba sebelum pajak 5-6 Catatan Harga yang dipergunakan merupakan harga di Lampung tahun 1992/1993, Perhitungan tidak menggunakan dana dari bank. Demikian penjelasan artikel diatas tentang Budidaya Ikan Kakap – Analisa, Perbedaan, Penyakit, Pakan, Tambak semoga bisa bermanfaat bagi pembaca setia
404 Not Found - NotFoundHttpException 1 linked Exception ResourceNotFoundException » [2/2] NotFoundHttpException No route found for "GET /Money/cara-membuat-lamaran-kerja-di-perusahaan-tambang-ppo048hb" [1/2] ResourceNotFoundException Logs Stack Trace Plain Text
cara budidaya ikan kakap putih di air tawar